Monday, September 27, 2010

PEMUJA MALAM

0 komentar


PEMUJA MALAM
Gita Nuari

seusai kita bernyanyi bumi mengental dalam waktu yang basah botol-
botol menyimpan napas kita yang busuk di antara teriakan para pemuja
malam siapa di antara kita yang tak pernah pulang? rumah telah menjadi
terumbu karang dihuni ganggang laut meradang di tengah gelombang
seusai kita bernyanyi burung-burung membatu di langit. imajinasi
lumpuh kita terdampar di antara kepak kelelawar meneguk getah mawar.


Puisi Tahun Baru Karya Gita Nuari

0 komentar


TAHUN BARU
Gita Nuari

sebutir telur mata sapi di atas sepiring nasi kedai 24 jam mengulum
asap dapur. suara motor, suara terompet, sorak-sorai anak-anak bangsa
di atas truk terbuka, mencari ujung malam di sebuah tanah lapang,
tenda-tenda mengelopak suara radio, gitar yang dipetik. desah anak abg
yang baru pertama kali tercium bibirnya oleh sang pacar, anak seorang
lurah, smu kelas III yang sedang belajar jadi arjuna lalu, seorang
anak yang tersisih dari peradaban menancapkan obor pada detik-detik
pergantian tahun di atas kuburan. setelah banyak nonton sinetron horor
ia jadi terbiasa melihat kuburan dan asap. ia ajak para setan untuk
turut merayakan pergantian tahun dengan membaur di antara manusiaaku
dengan sebutir telur mata sapi merasa risih dan gamang, saat kembang
api menyeruak ke langit tepat pukul nol nol. ada apa dengan tahun?
apakah tahun berakhlak baik sehingga banyak orang berhara pada kebai
kan di tahun baru? ada apa dengan tahun lama? bukankah tahun bertahun-
tahun selalu dengan isi yang sama? ada bencana alam, krisis ekonomi,
teror bom, musibah, kawin cerai dan kematian? aku dengan sebutir telur
mata sapi, setuju bahwa tahun baru ibarat tubuh yang berganti pakaian
dengan ukuran yang sama tapi tetap sempit dan panas ketika dikenakan!





Puisi Ikrar Gita Nuari

0 komentar


IKRAR
Gita Nuari

berulangkali cemara bergoyang
mencorat-coret
cakrawala di benak
kupu-kupu lintas,
belah pandangan
di kaca jendela.
cinta telah senja?
sepagi ini kau membatu
di simpang ragujanin
kata-kata membisu
madu jadi empedu
aku tuang lima sloki
pertanyaan ke telingamuk
apan cinta jadi cincin kata?
(aku tunggu jawab di bawah kitab)

Depok, 2010

Thursday, September 23, 2010

LAGU SENDU Gita Nuari

0 komentar


LAGU SENDU
Gita Nuari

tanganmu menyentuh
dingin telaga
seketika bayang kita
pecah di sana
bunga kamboja lepas dari tangkai
didorong angun melata ke dalam debar
hati meruncing. kalimat memar
dimana gerangan
penyejuk api?
ini lagu tak kunjung usai
merintih sampai kamar

Depok, 2010

Puisi Minuman | Puisi Tentang Minuman

0 komentar


MINUMAN
Gita Nuari

kita seharian minum
bergelas-gelas keraguan
pergi menuju entah
pulang lupa arah
kita seharian makan
berpiring-piring kepalsuan
pikiran ke kiri
langkah ke kanan
jangan saling tikam
jika jalan penuh tikungan
ambil kompas
mari berlayar di lautan lepas

Depok, 2010

SEBATAS KEPAK

0 komentar


SEBATAS KEPAK
Gita Nuari

diterang paling derang
langkahmu terbaca mataku
tapi di ujung kelokan
kau hilang di rimbun hutan dua ekor capung
bersenggama di atas danau
di ujung paling mendung, kau muncul
menjelma gelang-gelang airah, baru kali ini
rindu bersayap gelap
terbang sebatas kepak
singgah karena lelah

Depok, 2010

Puisi NOL Karya Gita Nuari

0 komentar


NOL
Gita Nuari

baiklah, kau telah menulis sunyi di batu itu
yang kemudian kau biarkan digauni lumut dan semut
aku tak menduga ada kabar bahwa menara
yang kau bangun dengan airmata, terbakar tadi malam
orang-orang memadamkannya dengan bersorak
kejam, katamu. keji, kataku
sudah kuhallo berulang kali ponselmu
tapi kesunyian yang kuterima
kau sengaja mencuri suaraku
tapi kau sembunyikan
gairahmu
kosong, katamu. hampa, kataku

Depok, 2010


KAKU | Puisi Gita Nuari

0 komentar


KAKU

Gita Nuari

diterik paling rawan, aku dingin melihatmumembiarkanmu jadi bulan-bulanan waktutak ada jembatan kau langkahi, tak adabukit terjal kau tapaki. hidupmu layaknyakayu yang dimakan rayap. pohon yang meranggas dimamah cuaca. kakimu selaluterbenam di lumpur paling kental, tanganmudiborgol kerangkeng kehidupan. ada apitapi kau tak membakarnya, ada arustapi kau tak mengayuhnya ke arah yang benardunia apa yang sedang kau bangun, saudaraku?kau lihat, laut kian mengecilkan daratan!

Depok, 2010


Puisi KABAR Gita Nuari

0 komentar


KABAR

Gita Nuari

kabarmu sekarang ada di benua birutiap pagi kotamu diguyur badai salju burung-burung sangat malas berkicau cuaca mengukung dan mengurungkau sendiri merasa hidup dalam tempurung dari jendela kau hanya bisa melihat duniamu hilang warna, memutih seperti timbunan kapas. kulitmu bersisik karena dingin yang menggigit. ingatkan bahwa di lembang aku juga merasakan hatimu?

indonesia negeri kita, tanah air moyang kita. seburuk apapun negeri ini, aku akan beranak pinak di sini. menuai kehidupan dengan kepala tegak. merajut mimpi-mimpidengan cahaya keyakinan dan kepercayaan.

Depok, 2010


Puisi Taman Gita Nuari

0 komentar


TAMAN

Gita Nuari

di taman ini burung-burung bersayap besi bunga-bunga membusuk di tong sampah ada jejak berdarah di dalam tas, aromanya menyebar di seantero jamban. cinta lumpuh digerus kegelapan sepanjang tahun ada rindu mengering di ujung jembatan orang-orang saling bertepuk tangan orang-orang saling mengucap salam tapi dimatamu, lagi-lagi matahari meledak, jadi serpihan yang mengganggu langkah menuju peradaban.

Depok, 2010

RUMPUT Karya : Gita Nuari

0 komentar


RUMPUT
Gita Nuari

rumput-rumput setiap hari menyimpan jejak orang yang menginjaknya. hujan hanya membasuh, tak bisa mengasuh maka ketika kita butuh sinar surya, rumput-rumput menyulapnya jadi duri dipunggung dan dikaki kita

seseorang menulis namanya di batu berharap ada yang mengenalinya sebagai pejantan yang tak pernah kalah. tetapi di dalam saku hatimu, pejantan itu, tak lebih hanya sebuah kepompong yang tak punya ruang

Depok, 2010



RENCANA | Puisi Gita Nuari

0 komentar


RENCANA

Gita Nuari

sudah kau semir sepatumu. tapi diluarhujan akan melunturkan semua lapisan semu kenapa harus ketemu jam 9 pagi? bukankah lebih baik jam segitu ada dibalik meja kerja merenungkan masa depan yang monoton lalu merubahnya dengan menu kerja yang lebih baik. lalu kita berdemo di sepanjang kota, menyumbat perekonomian para pelipat nasib kita?

anak-anak kita rajin mengacungkan tangan di kelas, menuding gurunya malas tersenyum mereka merasa kepalanya dijejali tumpukan cita-cita sebuah masa depan yang belum jelas, bisa terbang seperti pesawat. ah, anak-anak kita adalah simbol kehidupan. akar rumah tangga yang spesifik. kenapa harus kita kenakan mereka baju perang di dalam rumah?

Depok, 2010


Sunday, September 19, 2010

Sajak Taman Sastra (3) Hendy CH Bangun

0 komentar


Sajak Taman Sastra (3)
Hendy CH Bangun

Setelah puluhan tahun tak bertemu
Berubahkan mata indah yang kau puja dulu?

Lebih baik menerka-nerka
Lewat suara renyah
Pilihan kata-kata bodoh
Dan olok-olok yang kau tahu bohong

Sebaiknya kau berpikir
Lagu yang kau pilih
Untuk ilustrasi mengiringi
Kotak cinta yang kau buka lagi
Hits Chrisye yang populer kembali
Atau Ebiet G Ade yang bicara tentang sunyi
Seperti janji yang berlari tanpa permisi?

Siapa salah tak lagi masalah
Akuilah
Dulu kita pergi selagi marah

Masihkah merekah si senyum manis?
Ah, lebih baik tetap begini
Tak ada yang seindah imaji

Palmerah Barat, 13 Maret 2009

Sajak Taman Sastra (2)

0 komentar


Sajak Taman Sastra (2)
Hendy CH Bangun

Jangan campakkan ke kali
Edelweiss yang kupetik
Dari Lembah Suryakencana kemarin

Ribuan langkahkuTetes deras keringatku
Dari Cimacan sampai ke Puncak
Melewati Kandang Badak
Lalu turun di Pasar Cipanas
Menjiwai bunga cantik itu

Lihatlah lembut putihnya
Usaplah rambut-rambut halusnya
Kau akan merasakan
Cintaku bersamanya
Hiruplah harum tanahnya
Kau akan kenali hasrat
Yang mengalir dari ruapnya

Namun sore itu kau terpaku
Di depan professor yang membuka pintu
"Dia sedang keluar, tidak ada di rumah"
Lalu kau permisi dengan wajah merah

Platonis yang sempurna


Palmerah Barat, 13 Maret 2009

Sajak Taman Sastra

0 komentar


Sajak Taman Sastra
Hendy CH Bangun

: untuk sebuah nama

Terhimpit di sepi selasar
Dan merah cahaya senja
Kau cuma bisa menyumpah
Haruskah cinta melulu luka?
Haruskah semua kotak teka teki silang
Terisi penuh agar kudapat hadiah?

Di antara cemara berjajar di halaman belakang
Koral-koral mengurung langkah sepatumu
Rumput meranggas bukan tempat mengadu
Kata-kata itu kembali bergemuruh
"Kasih pun perlu kepastian
Semacam ijazah atau uang muka sebuah rumah"

Riuh burung gereja
Membuatmu nyaris tertawa
Buku, catatan, map yang lusuh
Tidak beda dengan senandung
Kesetiaan Shinta pada Rama
Yang kerap kau jadikan kidung merayu
Tidak laku, bung

Cinta bukan dongeng masa kecil yang selalu happy end
Seperti pangeran dan putri
ciptaan Hans Christian Andersen
Yang dulu kadang dibacakan ibumu
Sambil terkantuk-kantuk
Dan sibuk mengusir gigitan nyamuk

Ini bukan waktunya menangis
Seperti gelembung perment karet yang meletus
Kau bisa meniupnya lagi
Bahkan seribu kali kalau kau mau
Takkan ada air mata
Yang menetes dari matahari
Yang kau tatap dari lantai
tiga asrama setiap pagi

Palmerah, 13 Maret 2009

Aku Ingin | Hendy CH Bangun

0 komentar

Aku Ingin
Hendy CH Bangun

Sekali dua
Aku ingin tanpa cahaya
Supaya biasa
Meraba dalam gelap
Tanpa perlu menutup mata

Aku bisa menangis tanpa terlihat
Tepekur tanpa merasa malu
Berkerut tanpa ditanya
Memaki tanpa ditegur
Lalu aku bisa terantuk dan jatuh
Dan bangun
Sambil kesal atau tersenyum

Satu dua kali
Aku ingin tanpa suara dalam pekat
Menguji mata
Apa masih bisa melihat sinar
Barang setitik
Agar hatiku bisa membuang amarah
Tanpa kata-kata
Atau juga melepaskan panah benci
Ke pemilik langit
Walau tak berani meyakini
Dia akan mati

Sesekali
Aku ingin sendiri
Di ruang jelaga
Tanpa suara
Beku Dihimpit bumi
Supaya bisa mengatur nafas
Walau selubang pori
Menjejaki tapak para sufi
Ke ruang abadi

Aku ingin sekali
Tapi begitu keras
Hati ini
Tangan ini
Kaki ini
Kembali seperti biasa
Berkeluarga
Bekerja
Bertetangga
Bersedekah
Ke mesjid
Lalu bergunjingMencibir
Mencuri Memuji diri

Aku ingin sekali
Aku ingin sekali

Palmerah, 6 Mei 2009

Sajak Kampung | Karya Hendy CH Bangun

0 komentar


Kampung
Hendy CH Bangun

ada rindu bertalu-talu
pada sawah dan gunung
kerabat dan kampung
lenguh lembu dan cicit burung
saat waktu menandai umur

seperti baru saja
kau lompati pematang dan ladang
mengejar capung dan kupu-kupu
menarik benang layang-layang
atau main kejar-kejaran di lapangan
lalu mandi sampai sore di sungai berbatu
yang menjadi pembatas desa

seperti baru sekejap
sambil senandung kau petik jeruk dan biji kopi
atau ke hutan menguliti kayu manis
lalu sembunyi dan tertidur di rimbun kembang sepatu
dielus kicauan burung-burung

seperti masih terasa
tiupan dingin angin gunung dan lembah
dan kau menatap cemas lampu minyak
berdoa dia tak padam supaya kau tidak dicekik gelap
sementara di jalanberbatu di luar rumah
berjajar keranjang sayur menunggu dibawa tengkulak ke kota

seperti baru kemarin
dan waktu menciptakan kerut
kala menjadikan lupa

kapan pulang?
kian beku dibekap sibuk
atau tak lagi percaya
masih ada surga di sana

Palmerah Barat, 27 Agustus 2009


Elegi Batukarang

0 komentar


Elegi Batukarang
Hendy CH Bangun

Waktu seperti berhenti di sini
Meski rambut telah beruban
Nenek dan bapak sudah
di kuburan
Pohon kenangan tak lagi berdiri

Orang-orangan penjaga padi
Masih setia mengisi di pematang dan tepi
Mengusir burung lewat tali-tali
Yang dulu kau tarik ulur tiap hari

Aspal masih terkelupas
Membuncah batu dan tanah
Mengaduk kereta kerbauYang membawa pupuk dan cangkul
Atau sekadar makan siang

Bunga-bunga matahari mekar
Kuning, membakar semangat
Berjajar di tepi parit
Melambai diterpa angin
Kadang menyentuh jemari
Waktu dan bus berselisih

Nun tinggi di kanan
Berkilau belerang di bibir Sinabung
Meleleh di antara awan putih
Sambil kau bayangkan
Rimbun yang kian menipis
Ketika pohon menjadi kebun dan ladang

Kau takkan tersesat
Rumah-rumah masih bernomor sama
Hanya pintu jendela berganti warna
Kusam dan berlubang karena rayap
Tiang kian rapuh, penyangga mau rubuh
Seng di atap menjadi coklat, bahkan berlumut
Wajah di balik tingkap
Seperti tak ada bedanya tiga puluh tahun silam
: melulu derita di balik tawa
Zaman orla, orba, atau reformasi
Tanah kenangan terantuk-antuk tersisih
Dulu ditinggal penuh janji
Kini dilupakan si malin
Tak kembali Uang panen padi
Keringat bunda menyabitka ani-ani
Batuk ayah membajak sawah

Simpang tiga kian mati
Masih kau temui
Ceceran kotoran anjing
Dan liur daun sirih
Satu dua lelaki bersarung
Ibu-ibu bertudung
Berbincang atau duduk
Menghabiskan hari di kedai kopi
Tanpa tranksaksi berarti
Seperti pernah kau ingat dulu

Lapangan bola makin melalang
Tepi kali dulu kau mandi
Terban tak terurus
Titian kecil tempat memancing
Tinggal separuh
Pelataran tempat bermain
Tak lagi berbentuk
Nafas tinggal sedikit
Tapi aku tak yakin
Ingin menitip umur di sini

Jakarta 2007

Sajak Bencana | Puisi Bertema Bencana Alam

0 komentar


Bencana
Hendy CH Bangun

selalu kukira
aku mengenalmu
tapi ternyata belum

ketika kurasa kau tidur
gedung runtuh mendadak
surau dan sekolah terbelah
ketika kau gerakkan tangan
untuk sekadar menggeliat
dan ribuan orang berlarian
ke sawah dan bebukitan
bayi menangis, ibu menjerit

aku kerap merasa
bisa memahamimu
tapi kukira tidak

ketika kau menguap
gemuruh bergelora
air tinggi bergulung-gulung
lalu berayun-ayun perahu
menghempas pantai dan batang kelapa
menenggelamkan pasir
merendam jalan-jalan tepian

kini kutahu
aku harus terus membacamu
tiap-tiap huruf dalam buku
serta hela nafas dan gerakmu
karena kami bukan apa-apa
:sebatas debu dalam gurunmu

Palmerah Barat, 1 Oktober 2009

Puisi Tema Puasa | Karya Hendy CH Bangun

0 komentar

Puasa
Hendy CH Bangun

Bukan hanya gemetar dan rasa lapar
Terus membelit impian-impian liar
Mengingatkan pada amsal ular
Yang membuat
Adam dari surga terlempar


Bahkan saat kau dirikan
Tiang-tiang utama bangunan iman
Masih bertebaran
lumpur dan bau asam
Di setiap gerakan badan
Kumatikan pun semua indera
Tetap saja dia menyusup
Lewat aorta dan vena
Ke jantung yang berdegup


Betapa lemah
Betapa rendah
Bahkan tanpa digoda
Kau sudah mau menyerah


Saat Berbuka Puasa
Di tengah desah syukur
Dan sayup adzan melantun
Setan-setan berebut
Menyorongkan tangan ke mulut
Sampai kau tak sanggup


Empat belas jam bertarung
Kau nyaris kalah
di detik-detik terakhir
Diaduk silau hidangan
di atas meja
Yang diputarkan
iklan televisi setiap kali
Ada yang bilang itu biasa
Seperti menyerobot
antrian dan lampu merah
Atau mengantongi uang
tanda terima kasih
Lalu buat apakah
Kau menahan nafsu dan dahaga
Sambil berzikir?


Ingin kaupejamkan mata
Mengunjungi lagi
danau penuh teratai
Atau temaram senja
menenggelamkan
matahari di pantai
Terus terang
tak mudah menahan goda


Sehabis Berbuka Puasa
Jam berapa?
Lalu kau merasa
Cukuplah berdoa sendiri saja
Sambil mengeluhkan perut kenyang
Dan bising suara
anak-anak di mesjid
Saat shalat tarawih


Betapa berat menggulir
bola-bola tasbih
Ketika terdengar dialog
dan suara televisi
Menusuk kuping
Lalu kau bayangkan
gadis-gadis cantik
Dan komedi lucu
yang kau tonton rutin


Padahal padamu dijanjikan
Berlimpah bonus dan pahala
Yang belum tentu
kau temui ramadhan depan
Yang kau hitung
dengan kalkulator apapun
Hasilnya hanyalah
untung dan untung
Rahmat apalagi
Yang kau ingkari?

Masih tersisa sedikit malam
Untuk jam karet dan kantukmu
Segerakanlah

Palmerah Barat, 25 Agustus 2009

Wednesday, September 15, 2010

Puisi Puisi Sedih | Puisi Mengenangmu

0 komentar


Mengenangmu

Eka Fendri Putra

aku pernah mengenalnya
suatu masa yang terlipat waktu
kesedihan masih mendera,
ada cinta yang
terpenggal
ada cerita yang putus
aku selalu padamu

entah berapa lama,
kutepis rasa ini
tapi hanya menghancurkan jiwa
aku masih mengharapmu
lewat dunia dan mimpi
yang terbangun kokoh

entah berapa lama
kutekan rasa ini
tapi hanya menghimpit sepiku
aku masih mengharapmu
lewat dunia dan mimpi
yang terbangun kokoh

entah berapa lama kutekan rasa ini
tapi hanya menhimpit sepiku
setelah bertahun
kini kau begitu gemilang

entah untuk apa
aku masih mengenangmu
adakah itu tatapmu
masih untukku

Maret 2010

Puisi Sisa Luka karya Eka Fendri Putra

0 komentar


Sisa Luka
Eka Fendri Putra

ini kali yang tertunda
segumpal rasa
keping kiprah genting
pekik suara serak kita

yang tergugu di senja samar
rebah bergumul angan semu
ada sisa luka masih basah
rata

ini kali yang merangkak
menambal garis luka
beranjak dari kata
dari rasa
dan gersang ladang kita

kenapa ada tanya
bukan tanda
ini kali pertanda
keringnya luka

ada yang tersentuh di balik kisi hati
akankah terserak lagi?
dan hanya tinggalkan
butiran tanda tanda

Februari 2010

Salah Sangka | Eka Fendri Putra

0 komentar


Salah Sangka

Eka Fendri Putra

jangan salahkan aku
jika hingga kini
cuma kata hanya kata

ternyata kaya juga
hempaskan aku
ke dunia lain
ku terlempar dalam bayang bayang
menembus awan

seakan mengatasi langit
berkawan dengan angin
dan gelombang
di atas gunung aku bisa melihat

tak ada yang paling miskin
tak ada yang paling kaya
tak ada yang paling alim
tak ada yang paling durhaka
ternyata hanya salah sangka

Desember 2009

Surat Tua Puisi Eka Fendri Putra

0 komentar


Surat Tua

Eka Fendri Putra

Kembalilah Iwan,
pohon cengkeh berbuah emas
Di lereng bukit sebelah barat
Wangi kulit manis dan pala lebat buahnya
Pulanglah, perawan muda ceria bermekaran
Akan ada tujuh belas perhelatan
lepas lebaran
Bibah dapat suami ketigabelas,
orang rantau tentu
Si Badut pun akhirnya dapat jodoh,
si Kiah Janda si Jibun yang cerai mati
di Takengon Surat itu terlipat
dalam sebuah buku lama
Bertahun satu sembilan lima lima,
bulan dua, tanggal tiga
Dari Sulaiman, temanku,
yang mati waktu perang saudara
Tahun satu sembilan lima sembilan
Waktu subuh mayatnya ditemukan
Tubuhnya memagut batu,
terkulai dalam air di tepi danau
Degan satu setengah kaki.
Setengahnya lagi, hilang
"Hentakan alu di lesung
tingkah bertingkah
Ditumbukkan tiga perawan muda Iwan,
pulanglah, Pulanglah Iwan" Kinantan putih,
merah ranggahnyaIa berkokok sambil terbang
Di sepanjang lorong kampung.
Oh abang Leman
Ketika ia tertembak,
menjelang subuh ituPerawan desa kami merasa
jadi janda karena duka
Gema perbukitan, gaung puput tanduk
Di kampung pedalaman, gelak cekikikan
Semua sudah lama, terasa jauh, kian sayup
Dalam kenangan, bayangan riang jadi lara
Aku tak bisa pulang,
perang saudara belum usai
Hingga kini,
nama Sulaiman abadi dalam cinta
Tersimpan dalam pantun,
mengalun dalam salung
Umur sembilan belas ia mati,
di tepi danau yang sepi
Ketika perang saudara,
50 tahun yang lalu

Maret, 2009

Karya Eka Fendri Putra | Dinding

0 komentar


Dinding

Eka Fendri Putra

siapa bikin dinding begini? bagaimana meruntuhkannya?
dinding bertiang berlangit kata batasnya tak bertanda
meski di luar bagitu dekatdi dalam jauh dan siang
di sana tersimpan riwayat ikwal segala nama
tak seorang pun tahu bagaimana namanya
tertera di dinding itu

Februari, 2009

Tuesday, September 14, 2010

Puisi Kangen | Noor Sam

0 komentar

Kangen
Noor Sam

di mana jiwa menaruh percaya pada janji sementara kangenku senantiasa bersapa dengan kebohongan kepada siapa kemesraan dan kasih sayang dihanyutkan sedangkan di taman itu masih terhampar sunyi menampik segala warna-warni harapan kini aku bertanya pada bunga kebenaran yang mekar di atas tanah kehidupan kau telah menyatu pada mata api itu panasmu memisau-misau pada tiap helai daun menggugurkan harapan, menghanguskan setiap impian lalu jiwa ini kosong tak bermakna menjadi kepompong lampus di tengah hiruk pikuknya kata-kata hanya kata-kata apakah karena aku hanyalah perindu yang ditakdirkan untuk hanyut dalam kepulan asapmu maka aku bertanya pada bunga kehidupan: di mana tumbuh benih cinta yang kau semaikan?

April 2010

Menempuh Garis Cinta

0 komentar

Menempuh Garis Cinta
Noor Sam

menempuh garis-garis cinta yang berlumut adalah menyerahkan birahi dalam kobaran angan lalu musim berganti daun-daun meranggas cuaca sunyi membeku di kulkas sendu dan matahari sendirian membangun keheningan lewat dzikir-dzikir sedih kepastian mengendap bercampur kerikil tajam dan serpihan debutak ada bunga-bunga para reranting kering karena panas yang disemburkan semesta keraguan dan kupu-kupu tanpa sayap bergeleparan di pasir menghayati hambarnya garam sepanjang pantai kusam beginilah cinta yang melepuh hanyut dari derasnya gelombang sungai keruh bersama khalwat lumut dalam perjalanan kabut mengepul pada bayangan hitam berbentuk maut

Maret 2010

Menanti Kabar

0 komentar

Menanti Kabar
Noor Sam

di ujung jalan kosong kunanti kabar bunga-bunga sambil memaklumi bumi yang kian terasing kecemasan pun merayap menjejali ruang tamu menahan keinginan-keinginan dan geriap air mata kini kumasuki konser sunyi yang gaduh tanpa suara untuk menghikmati nyanyian badai dalam renungan mampus sambil menggali lubang lengang yang mengubur aroma mawar menggaungkan kemerduan gagak hitam menyambut jiwa sasar di sini kapal yang bertahun-tahun kutumpangi terdampar dalam samudra kenangan malam bersama pulau-pulau yang kian temaram oleh impian-impiannya yang terapung di atas ombak dan luka-luka masa lampau yang semakin bengkak di samudra gejolak yang riuh oleh suara kematian musim tak henti-hentinya merekayasa hujan yang arus siapa menyumpahi keadaan sepanjang konser sunyi selain harmoni kegelisahan dan suara daun berguguran

Februari 2010

Puisi Di Kegelapan Malam | Noor Sam

0 komentar

Di Kegelapan Malam
Noor Sam

di kegelapan malam perjalanan ini ada kesadaran mendatangi hakikat sebelum meronta jiwa pada kekekalan api di kegelapan malam perjalanan ini hanya ada kerinduan ranjang pada desah terperangkap dalam kusutnya kelambu sepi sementara birahi tetap menawarkan dosa dan nanah di kegelapan malam perjalanan ini pikiran-pikiran mengejar kemustahilan lalu menguburkan diri pada kehausan abadi sementara gugusan galaksi dan bulan setia mengasuh kenangan buruk dan perselingkuhan mimpi di kegelapan malam perjalanan ini hidup pelan-pelan berubah butiran angin karena kebenaran bahasa sebatas pendengaran orang tuli di kota-kota yang kaku dan dingin lalu kesedihan menjadi nafas bumi sedang merangkaki halaman cermin sendiri di kegelapan malam perjalanan ini keinginan pada cahaya dan hangat matahari dilebur arus gelap mata hati yang suntuk merangkai keping-keping penyesalan diri menjadi kemurungan nasib mengalir sepanjang sungai kesementaraan nikmat dan hasrat duniawi menuju laut mati

Januari 2010

Getaran Jiwa

0 komentar


GETARAN JIWA

Noor Sam

ini kali pertama
kurasa getaran yang sama
seperti kali pertama bertemuku
bertanya pada diriku
bertanya pada hati
getaran apakah ini?
sementara rinduku terus mendera
ada rasa yang tumbuh kian dalam
barulah kusadari
jika cinta tak mengenal syarat
dan tak pernah bertanya
ia datang menerpa seperti angin
seperti perangkap
yang tak bermata
menjerat dan membangkitkan
segala rindu
kini hasrat terasa meluap
mengaliri inci demi inci detak jantungku
meski kuingin mengakhirinya
ku masih tak mampu

Maret 2009

Puisi Dibawah Purnama

0 komentar


DI BAWAH PURNAMA
Noor Sam

pada batas langit dan bumi
pada kali pertama
tali gendewa dilesatkan
menikam cinta
di bawah purnamaku berguru pada alam
pada setiap kesedihan
terhujam aura gelap
yang mesti dipunahkan
mengapa selalu hadir gelisah
diantara degub yang menderu
ada selalu rasa itu
menghantui nafas dan malamku
kini aku bersujud pada waktu
menyerahkan gairah
dan janji semu pada segala tatap
yang penuh tanya
ini kali menyergap di ujung hati

April 2009

Puisi Topeng | Noor Sam

0 komentar


TOPENG
Noor Sam

ada batu cadas yang terbelah hujan
angin dan matahari
ketika inginku menelikung deras
menerba seribu wajah yang tertekan
mestikah melepas jati diri
terpuruk angan semu
angin tetap berjalan
mengitari rasa yang terpendam
bayangan hitam hari sunyi
membelit setiap nafas dan harap
keinginan berlalu beku
dalam bayang yang memagari rupa
tak sanggup aku teruskan
memasangi wajah dengan topeng
berteman dengan dusta dan sandiwara
hati telah jauh tertinggal
ingin kudekap malam dalam sahaja
ingin kureguk hari
apa adanya tanpa topeng

Februari 2009

SEBUAH MIMPI | Noor Sam

0 komentar


SEBUAH MIMPI

Noor Sam

ada seutas tali
tempatku panjatkan harap
tapi terlampau rapuh
terlalu besar kuberharap
darinya
inikah jalan yang kau bentangkan itu?
aku tetap berharap akan ada cahaya
dalam gelap
menepis segala pikiran buruk
masih adakah celah suaramu
membelah batu
mengikis tanah tandus
ketika jalan kiat surut?
segumpal harapan masih kutebar
mimpi semakin jauh
semakin tertinggal
ini jadi pecundang sejati
yang terkapar

Januari 2009

Perjalanan 70 Tahun Sapardi Djoko Damono

0 komentar

Perjalanan 70 Tahun Sapardi Djoko Damono

Jum'at, 26 Maret 2010

TEMPO Interaktif, Jakarta - Sapardi Djoko Damono – lahir di Solo, Jawa Tengah, 20 Maret 1940 – adalah salah seorang penyair terbaik yang dimiliki Indonesia. Dengan karir yang panjang sebagai penyair, penerjemah, redaktur, dan pengajar sastra, Sapardi telah melahirkan banyak karya, murid, maupun peniru, yang tersebar di pelbagai penjuru.

Sajak-sajaknya, yang sederhana dan jernih namun menyimpan kedalaman tak terduga, telah menjadi suara tersendiri dan memberi corak baru dalam khasanah puisi Indonesia.

Sebagai sastrawan Sapardi Djoko Damono telah berjalan jauh. Berikut kisah perjalanan sang sastrawan:

Sejak di sekolah dasar, Sapardi sudah suka membaca karya sastra, termasuk sajak-sajak penyair nasional dan dunia. Dari sinilah minatnya kepada puisi muncul. Apalagi, setelah bersama keluarganya pindah dari tengah kota yang ramai ke pinggiran kota Solo yang sepi, ia punya banyak waktu luang karena tak memiliki teman. Sejak kelas II SMA itulah ia mulai menulis puisi – padahal ia harus belajar keras karena sedang menghadapi ujian kenaikan kelas.

“Saya masih ingat betul, bagaimana saya harus menyembunyikan puisi yang saya buat di bawah buku, bila ayah datang dan melihat saya belajar,” ujar si sulung dua bersaudara ini. Walau masih pemula, Sapardi mengirimkan puisi-puisinya ke majalah sastra. Karya pertamanya dimuat di Post Minggu, Semarang, Desember 1957. Selanjutnya puisi-puisinya menghiasi media Ibu Kota, termasuk majalah Mimbar Indonesia pimpinan H.B. Jassin, sang “paus” sastra Indonesia.

Cucu abdi dalem Keraton Surakarta, yang gemar membuat wayang kulit, ini belakangan menjadi salah-satu penyair terkemuka Indonesia. Melalui kumpulan puisinya, Sihir Hujan, yang memuat 51 sajak, Sapardi menerima anugerah “Puisi Putra II” dari Gabungan Persatuan Penulis Nasional (Gapena) Malaysia, 1983. Wardiningsih—bekas adik kelasnya di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, yang dinikahi pada pada 1965—ikut dalam penerimaan hadiah itu, walau sebelumnya ia tak pernah mau diajak menghadiri acara sastra karena memang tak suka sastra.

Beruntung Sapardi masuk Jurusan Sastra Barat UGM. “Karena, dengan penguasaan bahasa itu, saya langsung bisa menikmati dan berhubungan dengan sastra asing,” katanya. Kegiatannya di seputar kesenian, teater mahasiswa, musik, mengisi acara sastra RRI, cukup mendukung proses kreatifnya. “Saat itu saya juga sering keliling daerah untuk bermain sandiwara,” ujarnya.

Sapardi pernah bergabung dengan beberapa grup teater, antara lain, Bengkel Teater pimpinan Rendra. Bahkan, untuk membiayai pementasan, ia pernah menggadaikan sepedanya. Ia pun masih sempat menerjemahkan sajak-sajak Yunani, Cina, Rusia. Karena itu, “Saya tidak ada waktu untuk hal yang aneh-aneh.”

Begitu lulus UGM pada 1964, ia mengajar di IKIP Malang cabang Madiun, Jawa Timur, selama empat tahun, dilanjutkan di Universitas Diponegoro Semarang, Jawa Tengah, juga empat tahun. Sejak 1974, Sapardi mengajar di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Sebagai dosen yang sastrawan, Sapardi merasa lebih santai, misalnya, sering mengenakan celana jins. “Saya selalu pakai sepatu sandal kalau mengajar,” katanya. Kalau telat menghadiri rapat, “Orang-orang jadi memaklumi karena mereka anggap sastrawan identik dengan ketidakteraturan,” ujarnya, tertawa.

Baginya menulis puisi itu seperti orang melukis. Seperti coretan demi coretan bagi pelukis, ia menyusun kata demi kata sampai susunan huruf atau kata itu menjadi bermakna. Selanjutnya, Sapardi menyerahkan kepada pembaca untuk memaknai sendiri. “Saya membuat puisi itu bukan untuk menyampaikan suatu pesan atau apa pun,” kata penyair yang salah satu sajaknya, Berjalan Ke Barat Waktu Pagi Hari dimuat dalam antologi puisi dunia.

Penyair yang pernah kuliah di Universitas Hawaii, Honolulu, Amerika Serikat ini sudah menjelajah ke pelbagai negara untuk mengikuti festival puisi. “Benua yang belum pernah saya kunjungi hanya Afrika,” tuturnya. Ia melihat, pembacaan puisi di banyak negara belum sepopuler di Indonesia. “Waktu pementasan festival puisi di Tokyo, yang menonton tidak lebih dari 30 orang,” katanya.

Sapardi juga menulis buku ilmiah. Di antaranya Sosiologi Sastra, Sebuah Pengantar Ringkas (1978), Novel Indonesia Sebelum Perang (1979, dan Sastra Indonesia Modern: Beberapa Catatan (1983).

Di waktu luang, ia mendengarkan musik. Koleksinya cukup lengkap: dari jazz sampai dangdut. Olahraganya senam ringan, yang penting baginya dapat mengeluarkan keringat. “Kalau orang seperti saya ini kan sudah tidak perlu lagi olahraga yang membentuk otot,” ujarnya.

Nurdin Kalim/PDAT

Karya-Karya Sapardi Djoko Damono:

Kumpulan Puisi/Prosa:

  • Duka-Mu Abadi, Bandung (1969)

  • Lelaki Tua dan Laut (1973; terjemahan karya Ernest Hemingway)

  • Mata Pisau (1974)

  • Sepilihan Sajak George Seferis (1975; terjemahan karya George Seferis)

  • Puisi Klasik Cina (1976; terjemahan)

  • Lirik Klasik Parsi (1977; terjemahan)

  • Dongeng-dongeng Asia untuk Anak-anak (1982, Pustaka Jaya)

  • Perahu Kertas (1983)

  • Sihir Hujan (1984; mendapat penghargaan Puisi Putera II di Malaysia)

  • Water Color Poems (1986; translated by J.H. McGlynn)

  • Suddenly the night: the poetry of Sapardi Djoko Damono (1988; translated by J.H. McGlynn)

  • Afrika yang Resah (1988; terjemahan)

  • Mendorong Jack Kuntikunti: Sepilihan Sajak dari Australia (1991; antologi sajak Australia, dikerjakan bersama R:F: Brissenden dan David Broks)

  • Hujan Bulan Juni (1994)

  • Black Magic Rain (translated by Harry G. Aveling)

  • Arloji (1998)

  • Ayat-ayat Api (2000)

  • Pengarang Telah Mati (2001; kumpulan cerpen)

  • Mata Jendela (2002)

  • Ada Berita Apa hari ini, Den Sastro? (2002)

  • Membunuh Orang Gila" (2003; kumpulan cerpen)

  • Nona Koelit Koetjing: Antologi cerita pendek Indonesia periode awal (1870an - 1910an)" (2005; salah seorang penyusun)

  • Mantra Orang Jawa (2005; puitisasi mantera tradisional Jawa dalam bahasa Indonesia)

  • Kolam (2009; kumpulan puisi)

Sapardi juga menerjemahkan beberapa karya Kahlil Gibran dan Jalaluddin Rumi ke dalam bahasa Indonesia.

Musikalisasi Puisi

Musikalisasi puisi karya Sapardi dimulai pada 1987, saat beberapa mahasiswanya membantu program Pusat Bahasa membuat musikalisasi puisi karya beberapa penyair Indonesia. Tujuannya , untuk mengapresiasikan sastra kepada siswa SLTA.

Saat itulah tercipta musikalisasi Aku Ingin oleh Ags. Arya Dipayana dan Hujan Bulan Juni oleh H. Umar Muslim. Dalam perjalanannya, Aku Ingin diaransemen ulang oleh Dwiki Dharmawan dan menjadi bagian dari soundtrack film Cinta dalam Sepotong Roti (1991), dibawakan oleh Ratna Octaviani.

Setelah itu lahirlah album Hujan Bulan Juni (1990), yang seluruhnya merupakan musikalisasi dari sajak-sajak Sapardi Djoko Damono. Duet Reda Gaudiamo – Ari Malibu dan sejumlah penyanyi lain yang memiankannya. Album Hujan Dalam Komposisi menyusul dirilis pada 1996.

Karena banyaknya permintaan, pada 2006 dirilis Album Gadis Kecil. Album itu diprakarsai oleh duet Dua Ibu, yang terdiri dari Reda Gaudiamo dan Tatyana. Setahun kemudian dirilis album musikalisasi puisi Becoming Dew oleh duet Reda – Ari Malibu.

Pada Tahun Baru 2008, pianis Ananda Sukarlan menggelar konser kantata Ars Amatoria, yang berisi interpretasinya atas puisi-puisi Sapardi serta karya beberapa penyair lain.

Buku

  • Sastra Lisan Indonesia (1983), ditulis bersama Subagio Sastrowardoyo dan A. Kasim Achmad. Seri Bunga Rampai Sastra ASEAN.

  • Puisi Indonesia Sebelum Kemerdekaan

  • Dimensi Mistik dalam Islam (1986), terjemahan karya Annemarie Schimmel "Mystical Dimension of Islam", salah seorang penulis.

  • Jejak Realisme dalam Sastra Indonesia (2004), salah seorang penulis.

  • Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas (1978).

  • Politik ideologi dan sastra hibrida (1999).

  • Pegangan Penelitian Sastra Bandingan (2005).

  • Babad Tanah Jawi (2005; penyunting bersama Sonya Sondakh, terjemahan bahasa Indonesia dari versi bahasa Jawa karya Yasadipura, Balai Pustaka 1939).

Nurdin Kalim/Pelbagai Sumber

Mengenang Chairil Anwar Lewat Puisi

0 komentar

Mengenang Chairil Anwar Lewat Puisi

TEMPO Interaktif, Sidoarjo--Puluhan seniman Sidoarjo memperingati wafatnya penyair Chairil Anwar dengan pertujukan puisi. Acara yang digelar Sabtu (24/4) besok, juga akan melibatkan para seniman Jawa Timur asal Gresik, Mojokerto, Bangkalan dan Surabaya. "Mereka akan menunjukkan kebolehannya membacakan puisi karya Chairil Anwar," kata Ahmad Zen dari Dewan Kesenian Sidoarjo, Jumat (23/4).

Acara yang digelar di Gedung Delta Praja Dinas Pariwisata Sidoarjo ini juga melibatkan para pelajar Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas. Acara ini sendiri diharapkan mampu merangsang para pemuda untuk aktif dan mencintai sastra dan seni tradisi. Sejumlah pejabat Pemerintah Kabupaten Sidoarjo bahkan diminta menunjukkan kebolehan membacakan puisi.

Salah seorang seniman Sidoarjo, Multono mengatakan sebanyak 35 seniman akan berkumpul dalam temu sastra kali ini. Tak hanya mengenang wafatnya Chairil Anwar, acara tersebut juga menjadi ajang pertemuan para seniman di Sidoarjo. Bahkan sejumlah seniman beken Jawa Timur turut hadir dalam kegiatan ini. Salah satunya adalah seniman sastra Jawa Timur Akhudiat. "Dia akan menyampaikan orasi budaya di hadapan peserta," ujarnya.

EKO WIDIANTO


Sumber : www.tempointeraktif.com

Merenung bersama Korrie Layun Rampan

0 komentar

Merenung bersama Korrie Layun Rampan

  1. Dalam hidup ini tak perlu dikejar bahagia atau derita. Karena semuanya ada dalam diri. Apa yang ingin dimiliki, ia hanya dikembangkan dari dalam. Yang mana yang harus dredamkan, yang mana yang harus ditumbuhkan. Tergantung pilihan.
  2. Yang membebani adalah perasaan. Jika semuanya diperbuat dalam suka, maka buahnya hanyalah sukacita. Yang membebani hanyalah hati yang menolak memberi. Jika tangan memberi dengan hati yang rela, maka buahnya adalah hati yang menerima.
  3. Dua hati dan dua pikiran yang menyatu akan lebih mampu membuka pintu baja kehidupan. Apa perlunya salah satu ditinggalkan?
  4. Rumah adalah istana tempat bersemayam hati dan tangga adalah tempat mendaki mencapai hati yang istirah di kamar.
  5. Bergaul dan banyak kawan tidak jadi persoalan. Tetapi memilih wanita untuk berdekatan, jangan sembarangan.
  6. Menikmati hidup berarti menerimanya tanpa beban.
  7. Kesilaman yang indah membentuk masa kini yang indah. Kesilaman adalah kenyataan yang harus kita bina pada yang terbaik dalam hidup yang baik.
  8. Membayangkan memang lebih indah dan gampang daripada menjalani. Menjalani seperti berjalan di atas duri. Tetapi ingat, duri pun dapat berubah menjadi emas untuk menjahit sulaman hidup yang penuh bahagia.
  9. Setia adalah kemampuan memenangkan pertempuran terhadap diri sendiri. Kesetiaan adalah kejujuran yang jujur.
  10. Tak ada yang sempurna bagi manusia. Yang sempurna adalah hati yang berpadan dengan keadaan. Menerima yang lebih atau kurang dalam jumlah yang cukup.
  11. Kita seharusnya memberi tanpa mengharapkan menerima, karena penerimaan itu sendiri sudah seharusnya diterima. Sebab dalam pemberian itu sesungguhnya kita telah menerima.
  12. Kasih yang berjalan tanpa suara lebih hebat dari suara. Sayang yang berjalan tanpa kata-kata lebih hebat dari jutaan kata.
  13. Tanggung jawab yang dilimpahkan dalam perbuatan lebih hebat daripada perbuatan yang hanya karena kepatuhan.
  14. Berani untuk berani adalah hal yang wajar. Tetapi keberanian untuk takut adalah kewajaran yang penuh resiko.
  15. Adalah tidak baik berdekatan tetapi berjauhan; membenarkan tapi kecewa di belakang panggung.
  16. Seseorang yang merasa menemukan diri sendiri akan mampu menemukan makna kehadiran orang lain.

Sumber : www.diosdias.wordpress.com

Cina dan China Rubrik Bahasa Ajip Rosidi

0 komentar

Cina dan China

Ajip Rosidi: Penulis, budayawan.
Pikiran Rakyat, 12 Jun 2010.

Sebelum Ejaan yang Disempurnakan (EYD) diresmikan kita menulisnya “Tjina”, sesudah EYD diresmikan kita menulisnya “Cina”, karena “tj” diganti dengan “c”. Akan tetapi sebagian dari orang Cina peranakan di Indonesia menganggap kata “Cina” itu mengandung penghinaan. Mereka lebih suka mempergunakan kata “Tionghoa” untuk menyebut nama bangsa dan nama bahasanya dan “Tiongkok” untuk menyebut nama negaranya. Tidak pernah jelas penghinaan apa yang terkandung dalam kata “Cina” itu. Namun anehnya, mereka sendiri kalau berbicara dalam bahasa Inggris menggunakan kata “China”. Begitu juga untuk menyebut nama bangsa dan nama negaranya, baik yang di benua Asia (People’s Republic of China) maupun yang di pulau Taiwan (Republic of China). Yang ganjil kalau dalam bahasa Indonesia dianggap mempunyai unsur menghina, tetapi dalam bahasa Inggris disambut baik. Artinya tidak dianggap mengandung unsur menghina. Padahal pemakaian kata “Cina” dalam bahasa Melayu sejak dahulu dianggap wajar saja. Kata “Cina” dalam bahasa Melayu sampai masuk ke dalam peribahasa dan menjadi ungkapan yang biasa digunakan sehari-hari tanpa ada kandungan penghinaan, misalnya peribahasa yang berbunyi “bagai Cina karam” atau ungkapan “baju potongan Cina”. Dalam bahasa Sunda juga ada peribahasa yang berbunyi “jiga Cina dipangwayangkeun”.

Menurut perkiraan saya, timbulnya anggapan bahwa perkataan “Cina” itu mengandung penghinaan, sejak orang-orang Cina di Indonesia mau disebut “Tionghoa” dan negerinya harus disebut “Tiongkok”, yaitu pada zaman Demokrasi Terpimpin ketika Baperki kian berpengaruh, karena dari lingkungan itulah mulai timbul anggapan bahwa kata “Cina” itu mengandung penghinaan. Jadi hanya sebagai alasan, karena dalam masyarakat pengguna bahasa Melayu dan Indonesia sendiri tidak ada maksud menghina atau merendahkan dengan memakai istilah “Cina” itu. Hanya orang Cina tertentu (artinya tidak semua) dan para Indonesianis semacam Ben Anderson yang menganggap kata “Cina” mengandung penghinaan.

Akan tetapi belakangan ini dalam sejumlah surat kabar dan majalah perkataan “Cina” itu diganti menjadi “China”. Konon karena surat kabar terkemuka di Jakarta pernah ditegur atau diminta oleh pejabat dari kedutaan besar RRC agar jangan menggunakan perkataan “Cina”. Sebagai lembaga yang merasa tidak berdaulat dalam menggunakan bahasa nasionalnya, maka surat kabar itu mengikuti teguran atau permintaan itu dan dalam surat kabarnya sejak itu “Cina” selalu ditulis “China”. Dan karena surat kabar itu yang paling terkemuka di Indonesia, maka surat-surat kabar lain baik di Jakarta maupun di daerah tanpa diminta oleh pejabat kedutaan yang bersangkutan, secara sukarela menyalahi EYD dalam menuliskan kata tersebut dengan “China”.

Yang lebih ajaib ialah cara kata tersebut diucapkan. Dalam televisi kita dengar ada orang yang mengucapkannya sesuai dengan cara perkataan tersebut diucapkan dalam percakapan sehari-hari oleh orang biasa di pasar atau di surau. Tetapi ada juga yang mengucapkannya seperti dalam bahasa Inggris, yaitu “Caine”. Sementara itu tidak kurang yang mengucapkannya dengan “Caina”. Dan kalau yang dimaksud “orang China” sekarang biasa digunakan istilah Inggris “Cainis” (Chinese).

Peristiwa itu menunjukkan betapa mudahnya kita menyesuaikan diri dengan kehendak orang lain, terutama kalau orang lain itu termasuk bangsa yang dianggap lebih kuat kedudukannya dari kita, sehingga kita lupa bahwa kita harus membela kedaulatan kita dalam berbahasa, termasuk mengatur ejaan dalam menuliskan kata-kata yang sudah menjadi perbendaharaan bahasa kita. Bukankah kita juga tidak meminta orang Cina dalam bahasanya menuliskan nama bangsa dan negara kita agar sesuai dengan kehendak kita, padahal dengan huruf cakar ayam itu entah bagaimana bunyi “Indonesia” mereka ucapkan.

Kita selalu ingin menjadi “orang baik” menurut orang lain, tetapi lupa bahwa kita sendiri sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat harus menentukan apa yang baik bagi kita. Memang sebagai bangsa yang lama menjadi jajahan orang lain, kita selalu terbiasa ingin disebut baik oleh orang lain, yaitu oleh bangsa yang menjajah kita. Oleh karena itu, kita tidak mempunyai tolok-ukur untuk memilah-milah mana yang baik dan mana yang tidak. Dengan kata lain kita terbiasa menjadi objek, padahal sebagai bangsa merdeka dan berdaulat kita harus menjadi subjek. Mengubah mentalitas sebagai objek menjadi subjek memang tidak mudah. Apalagi dalam terjangan globalisasi yang datang dengan dukungan modal kuat dan menggunakan sarana teknologi mutakhir yang maju.

Kita tidak tahu apakah ada pegawai Kedutaan Besar Cina di Kualalumpur yang meminta pers di sana agar menuliskan nama negeri dan bangsanya dengan “China” seperti dalam bahasa Inggris. Yang jelas dalam bahasa Melayu sampai sekarang orang tetap menuliskannya “Cina” – sesuai dengan EYD yang juga mereka pakai.

Ada kemungkinan tidak ada pegawai Kedutaan Besar Cina di Kuala Lumpur yang merasa terganggu dengan tulisan “Cina” sehingga tidak mengusulkan agar diganti dengan “China” seperti dalam bahasa Inggris. Ada juga kemungkinan ada pegawai Kedutaan Besar Cina di sana yang meminta wartawan surat kabar Melayu agar jangan menulis “Cina” tetapi harus “China”, hanya wartawan yang bersangkutan menganggap bahwa soal bagaimana menulis sesuatu dalam bahasanya bukanlah urusan orang Cina, sehingga usul atau permintaan itu tidak dipenuhi. Artinya wartawan Melayu itu mempunyai harga diri dan menyadari kedudukannya sebagai bangsa yang berdaulat yang berhak mengatur cara penulisan sesuatu dalam bahasanya sesuai dengan aturan yang berlaku. Tentu saja sikap demikian tidak usah dihubungkan dengan kenyataan bahwa orang Malaysia yang mempunyai perkebunan, sedangkan TKI Indonesia bekerja mencari makan.

Peribahasa klasik yang berbunyi bahwa kalau kita ingin dihargai orang lain, kita harus tahu menghargai diri sendiri, tampaknya telah dilupakan oleh banyak orang termasuk oleh wartawan surat kabar paling terkemuka di Jakarta. Atau tidak sampai dia mengerti karena mentalitasnya adalah mentalitas manusia jajahan yang merasa senang tetap menjadi objek.

Bahasa Melayu di Indonesia dan Malaysia

0 komentar

Bahasa Melayu di Indonesia dan Malaysia

Ajip Rosidi: Penulis, budayawan.
Pikiran Rakyat, 19 Jun 2010.

Perkembangan bahasa Melayu setelah menjadi bahasa Indonesia menarik untuk diperbandingkan dengan perkembangan bahasa Melayu setelah menjadi bahasa Malaysia. Ternyata masing-masing menghadapi tantangan yang berbeda. Di Indonesia, bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional tidak ada saingan, walaupun terdapat ratusan bahasa ibu di seluruh wilayahnya, padahal bahasa Melayu ketika dinobatkan sebagai bahasa nasional berhadapan dengan bahasa Jawa dan Sunda yang digunakan lebih banyak penutur dan mempunyai sejarah serta kesusastraan lebih kaya.

Namun, bahasa Indonesia menghadapi dan mendapat pengaruh terutama dari bahasa Jawa yang penuturnya adalah suku bangsa terbesar di Indonesia dan bahasa Betawi atau Jakarta yang menjadi ibu kota negara. Harus diakui bahwa pengaruh yang paling besar datang dari bahasa Jawa dan bahasa Betawi. Pengaruh tersebut menyebabkan kian besarnya perbedaan antara bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia, yaitu bahasa Melayu yang dijadikan bahasa kebangsaan Malaysia. Kalau asalnya perbedaan itu karena perbedaan bangsa yang menjajah — Indonesia dijajah Belanda dan Malaysia dijajah Inggris sehingga bahasa Indonesia banyak dipengaruhi bahasa Belanda sedangkan bahasa Malaysia dipengaruhi bahasa Inggris — maka sekarang perbedaan itu terutama karena besarnya pengaruh bahasa Jawa dan bahasa Betawi ke dalam bahasa Indonesia.

Sementara itu, pengaruh bahasa Belanda kian berkurang, pengaruh bahasa Inggris kian menghebat ke dalam bahasa Indonesia. Meskipun orang Indonesia belum mempergunakan “I” sebagai kata ganti orang pertama seperti orang Malaysia, kata ganti orang kedua you kian sering terdengar. Pemakaian kata-kata dan ungkapan-ungkapan bahasa Inggris di tengah percakapan — bahkan tulisan — kian banyak digunakan.

Karena bahasa Indonesia tidak mempunyai saingan sebagai bahasa nasional, tak ada yang mengkhawatirkan masa depannya. Karena bahasa Indonesia itu mudah dipelajari, tidak ada yang menganggap perlu mengawasi pembelajaran bahasa Indonesia secara cermat dan meneliti hasilnya dalam masyarakat. Karena bahasa Indonesia dianggap masih harus diperkembangkan, setiap orang dengan semaunya memperkaya khazanah kata bahasa Indonesia dengan memasukkan kata-kata asing (terutama dari bahasa Inggris), padahal kata-kata tersebut sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia.

Karena bahasa Indonesia dianggap dengan sendirinya telah dikuasai setiap orang Indonesia (walaupun mereka sedikit sekali membaca buku), jarang sekali ada orang yang merasa perlu membuka kamus karena mereka pun tidak merasa perlu mempunyai kamus bahasa Indonesia.

Maka, kemampuan berbahasa nasional bahkan di kalangan elite bangsa Indonesia kian menyedihkan. Pemerintah sendiri merasa cukup dengan mendirikan Pusat Bahasa yang tidak kelihatan memperhatikan perkembangan pemakaian bahasa dalam masyarakat. Pengajaran bahasa Indonesia di sekolah tidak didukung oleh perpustakaan sekolah yang memadai yang isinya terutama harus buku-buku karya sastra yang telah menjadi kanon kesusastraan nasional. Perlunya anak-anak didik digalakkan membaca karya sastra utama agar mereka dapat belajar bagaimana menyusun kalimat yang baik, yang dalam masyarakat baik secara lisan melalui radio dan televisi maupun yang tertulis dalam surat-surat kabar dan majalah sukar dijumpai.

Bahasa Malaysia

Karena di Malaysia bahasa Inggris lebih diutamakan sebagai warisan dari masa penjajahan, di samping itu orang-orang Cina dan India yang jumlahnya setengah jumlah penduduk lebih suka mempergunakan bahasa Mandarin atau Tamil, pemerintah merasa perlu memberikan dukungan penuh terhadap perkembangan bahasa kebangsaan Malaysia. Ketika menjadi negara Merdeka (Persekutuan Tanah Melayu sebelum kemudian menjadi Malaysia), mereka meniru pemerintah Hindia Belanda mendirikan penerbit buku yang menyediakan bahan bacaan bagi masyarakatnya dalam bahasa kebangsaan yang mereka namakan Dewan Bahasa dan Pustaka (DBP). Pola yang ditiru adalah Balai Pustaka (BP) di Indonesia. Akan tetapi, sementara yang dijadikan contoh sendiri tidak mendapat perhatian dari pemerintah RI, DBP berkembang terus. Bukan hanya menerbitkan buku, melainkan juga majalah, yaitu Dewan Bahasa yang khusus memuat tulisan mengenai bahasa, Dewan Sastera yang khusus untuk sastra, Dewan Budaya yang lebih luas, dan Dewan Masyarakat yang bersifat umum. Pada masa sebelum perang, BP menerbitkan majalah mingguan Pandji Poestaka (basa Melayu), Kejawen (basa Jawa), dan Parahiangan (basa Sunda), di samping almanak tahunan. Akan tetapi, sesudah pemerintah RI berdiri, BP tidak lagi menerbitkan majalah, kecuali Kunang-kunang (untuk anak-anak) dan Pembimbing Pembaca tetapi hanya beberapa tahun. DBP mengundang sarjana-sarjana dari negeri asing (termasuk dari Indonesia) untuk mengadakan penelitian dan menerbitkannya menjadi buku.

Sejak 1971, pemerintah Malaysia juga menyediakan Hadiah Sastra tahunan untuk berbagai macam karya sastra dan hadiah itu berlangsung secara ajek sampai sekarang. Hasilnya dibukukan oleh DBP. Kerajaan Malaysia juga menyediakan tenaga pengajar untuk berbagai universitas di negeri asing yang membuka pelajaran bahasa dan budaya Malaysia. Kerajaan Malaysia juga membentuk lembaga Sasterawan Negara, yaitu menghargai sastrawan yang karya-karyanya dianggap besar artinya bagi perkembangan sastra dan budaya bangsa. Sasterawan Negara di samping buku-bukunya dibeli untuk mengisi perpustakaan-perpustakaan sekolah di seluruh negeri, juga mendapat berbagai fasilitas untuk kemudahan hidupnya. Hal-hal demikian tidak pernah dilakukan oleh pemerintah RI.

Yang istimewa adalah terbentuknya Gapena (Gabungan Persatuan Penulis Nasional) pada 23 Oktober 1970. Gabungan persatuan penulis yang tadinya didirikan oleh 14 persatuan penulis itu berkembang dengan pesat sehingga kemudian di setiap negara bagian ada persatuan penulis yang menjadi anggotanya. Di bawah Ketua I Tansri Ismail Hussein, Gapena bukan saja dapat memperoleh bantuan dari pemerintah federal, melainkan juga dapat mengadakan kerja sama dengan para Menteri Besar di setiap negara bagian sehingga mereka membantu apabila Gapena mengadakan pertemuan tahunan baik berupa Hari Sastera ataupun lainnya. Dia pada 1990 menulis, “Bagi bangsa Melayu di Malaysia, tanggung jawab kita yang utama tentulah kepada ’Duna Melayu’, yaitu untuk menjaga perpaduan asasi antara Islam dan kebudayaan Melayu, dalam membinanya sebagai dasar kebudayaan kebangsaan dan serantau.” (lihat Anugerah Sastera Mastera 2006 [Malaysia], KL, DBP, 2006. hlm. 80).

Sayanglah bahwa menjelang akhir masa jabatannya, PM Dr. Mahathir menganjurkan kembali pemakaian bahasa Inggris di lingkungan universitas dan keilmuan, dengan maksud agar orang Melayu tidak kalah bersaing dengan orang-orang Cina maupun India.

Bahasa dan Kebudayaan Nasional Oleh Ajip Rosidi

0 komentar

Bahasa dan Kebudayaan Nasional

Ajip Rosidi: Penulis, budayawan.

Pikiran Rakyat, 3 Jul 2010.

Pada 1930-an terjadilah di kalangan para intelektual muda Indonesia polemik tentang masa depan bangsa Indonesia. Polemik itu berlangsung bertahun-tahun serta dimuat dalam berbagai majalah dan surat kabar. Sekarang kita sebut sebagai polemik kebudayaan karena sebagian besar polemik itu dikumpulkan oleh Achdiat K. Mihardja yang diberinya judul “Polemik Kebudayaan” (Balai Pustaka, Jakarta, 1950). Yang terlibat dalam polemik itu kemudian kita kenal sebagai pendiri bangsa dan negara Indonesia, antara lain S. Takdir Alisjahbana, Sanoesi Pane, Dr. Soetomo, Ki Hadjar Dewantara, dan Dr. Poerbatjaraka.

Mereka membahas berbagai segi kebudayaan nasional Indonesia yang sebenarnya ketika itu merupakan suatu hal yang diangankan. S. Takdir Alisjahbana dengan lantangnya mengatakan bahwa untuk membangun bangsa dan kebudayaan nasional Indonesia, kita harus memutuskan hubungan dengan masa lampau yang disebutnya sebagai masa pra-Indonesia. Kalau mau maju, bangsa Indonesia harus sebanyak-banyaknya menyedot jiwa Barat yang dinamis. Begitu juga dengan kekayaan kebudayaan daerah kita yang dianggap sebagai hasil masa lalu, dianggap bukan bagian dari kebudayaan kita.

Akan tetapi, ada yang berpendapat sebaliknya, yaitu bahwa kita sebagai bangsa tidak dapat melepaskan diri dari masa lalu. Kita sekarang adalah lanjutan dari masa lalu itu. Masa lalu tak bisa begitu saja dihapuskan dari hidup kita.

Yang menarik adalah bahwa polemik itu ditulis dalam bahasa Indonesia, yaitu bahasa yang belum lama sebelumnya (28 Oktober 1928) dinobatkan sebagai bahasa persatuan oleh para pemuda yang mengadakan kerapatan di Jakarta. Para pemuda yang mewakili berbagai suku bangsa dari seluruh daerah di Indonesia itu dengan tegas menyatakan bahwa mereka mengaku berbangsa dan bertanah air satu dan bahwa mereka menjunjung bahasa persatuan yang mereka pilih dari ratusan macam bahasa yang terdapat di seluruh persada Indonesia, yaitu bahasa Melayu yang mereka beri nama bahasa Indonesia. Bahasa Melayu yang mereka jadikan bahasa nasional itu sudah mereka pergunakan sebagai lingua franca, baik dalam pergaulan sesama suku maupun sebagai bahasa pers.

Sesungguhnya bahasa nasional itulah yang telah nyata-nyata kita miliki sebagai budaya bangsa. Padahal, para pemuda yang menasbihkan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan Indonesia itu sendiri adalah hasil didikan sekolah Belanda yang lebih fasih menggunakan bahasa Belanda daripada bahasa Melayu — yang tampak antara lain dari pengakuan Dr. Poerbatjaraka dalam tulisannya. Setelah bahasa Melayu diakui sebagai bahasa persatuan dan diberi nama bahasa Indonesia, para pemuda kaum intelektual pejuang kemerdekaan itu mulai belajar sungguh-sungguh berbahasa Indonesia. Dengan bahasa nasional itulah mereka memengaruhi bangsanya tentang kesadaran nasional, tentang cita-cita kemerdekaan. Adalah faktor kebetulan bahwa tidak lama kemudian, Belanda diusir oleh bala tentara Jepang (1942) dan pemakaian bahasa Belanda sama sekali dilarang. Pemerintah pendudukan Jepang ingin menjadikan bahasanya sendiri sebagai bahasa resmi di tanah jajahannya. Akan tetapi, karena belum banyak yang dapat menguasainya, mereka terpaksa mengangkat bahasa Indonesia sebagai bahasa yang harus digunakan di seluruh Indonesia, sementara bahasa Jepang diajarkan sangat intensif. Para pemimpin kita dikerahkan oleh pemerintah pendudukan Jepang untuk berpropaganda tentang kehebatan bala tentara Dai Nippon dan janji-janjinya. Para pemimpin kita dalam kesempatan itu membangkitkan kesadaran kebangsaan rakyat untuk mempunyai negara dan pemerintahan sendiri.

Bahwa pada waktu Jepang kalah dan kita memproklamasikan kemerdekaan disokong oleh seluruh rakyat, menunjukkan bahwa para pemimpin nasional kita telah berhasil menanamkan kesadaran nasional dan patriotisme.

Dengan kata lain, bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional telah berfungsi sebagaimana mestinya. Akan tetapi, di samping itu, kita pun melihat bahwa bahasa Indonesia telah menjadi bahasa yang dapat dipergunakan untuk melahirkan karya sastra berupa prosa dan puisi yang ternyata mendapat pengakuan secara internasional. Karya-karya Chairil Anwar, Asrul Sani, Rivai Apin, Idrus, Pramoedya Ananta Toer, Achdiat K. Mihardja, Mochtar Lubis, Utuy T. Sontani, dianggap bermutu sehingga banyak yang diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing.

Dalam perkembangan selanjutnya, kian banyak orang yang menulis dalam bahasa Indonesia. Kalau tadinya pada masa sebelum perang yang menulis karya sastra itu terutama hanya orang-orang Sumatra, istimewa dari Minangkabau, sekarang kita melihat para penyair dan sastrrawan berdatangan dari berbagai suku bangsa dari seluruh pelosok Indonesia. Pengakuan terhadap mutu karya-karya sastra Indonesia juga kian banyak dari berbagai negeri lain dengan munculnya para ahli bahasa dan sastra Indonesia di negeri-negeri itu dan karya-karya sastra Indonesia kian banyak diterjemahkan ke dalam kian banyak bahasa.

Tidak hanya dalam bidang sastra kita menyaksikan kemajuan pemakaian bahasa Indonesia, melainkan juga dalam bidang ilmu. Bahasa Indonesia bukan saja dapat dipergunakan sebagai bahasa pengantar di dalam semua jenjang pendidikan, melainkan juga dapat digunakan untuk menulis berbagai macam ilmu.

Akan tetapi, kemajuan bahasa Indonesia dalam bidang seni dan ilmu itu sayang sekali tidak terjangkau oleh kebanyakan bangsa kita karena sejak Republik Indonesia berdiri, tidak ada pemerintah yang secara sungguh-sungguh mengamalkan amanat Mukadimah UUD untuk mencerdaskan bangsa. Sekolah banyak didirikan tetapi kegemaran membaca tidak dibina karena sekolah-sekolah dan universitas-universitas itu tidak dilengkapi perpustakaan yang memadai, yang bukan saja akan memupuk kegemaran membaca dan memperkenalkan siswa dengan dunia bacaan yang tak terbatas, melainkan juga akan menyebabkan mereka mengikuti perkembangan prestasi bangsanya dalam bidang ilmu dan seni, terutama sastra.

Seakan-akan ada jurang yang dalam antara prestasi yang dicapai para putra Indonesia dalam bidang sastra serta ilmu dan umumnya bangsa Indonesia. Bahkan, mereka yang bergelar sarjana pun kebanyakan tidak mengikuti perkembangan ilmu karena skripsi dan disertasinya dibuatkan oleh orang lain atau hasil plagiat.

Ajip Rosidi Sosok Sastrawan dan Budayawan Paripurna

0 komentar

Sosok Sastrawan dan Budayawan Paripurna

Sosok Ajip Rosidi di mata rekan-rekannya sesama pencinta sastra dan kebudayaan merupakan sosok yang lengkap, paripurna. Selain dikenal sebagai sastrawan Sunda, Ajip juga dikenal sebagai sosok yang memperkaya sastra Indonesia dan memperkenalkan kebudayaan Sunda di dunia internasional. Ketua Yayasan Kebudayaan Rancage itu juga dinilai sebagai sosok yang bisa melepaskan diri dari kecenderungan polarisasi dalam banyak hal. Salah satunya, polarisasi antara kebudayaan modern dan kebudayaan tradisional.


Pulang dari Jepang, setelah tinggal di sana selama 22 tahun, Ajip Rosidi merasa gamang. Kegamangan itu dipicu oleh kekhawatiran adanya "pengultusan" terhadap dirinya. Juga kegamangan akan nasib budaya tradisional yang terus terlindas oleh budaya global.


"Saya merasa ngeri karena saya mendapat kesan bahwa saya hendak dikultuskan sehingga timbul pikiran menciptakan Ajip-Ajip baru. Saya ngeri karena saya khawatir hal itu menimbulkan rasa takabur," katanya.


Suara batin itu diungkapkan Ajip Rosidi di hadapan para pencinta sastra, termasuk para pengagumnya, pada seminar di Universitas Padjadjaran, Bandung, yang khusus membedah kiprahnya di dunia sastra, Rabu (28/5/03).


Hampir semua yang hadir memuji semangat dan dedikasi sastrawan kelahiran Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat, 31 Januari 1938, itu. Pengamat sastra Dr Faruk HT, misalnya, secara implisit memosisikan Ajip sebagai "orang langka" dengan kelebihan yang tidak dimiliki HB Jassin, Goenawan Mohamad, dan Soebagio Sastrowardoyo.


Ajip dinilai sebagai sosok yang bisa melepaskan diri dari kecenderungan polarisasi dalam banyak hal. Salah satunya, polarisasi antara kebudayaan modern dan kebudayaan tradisional. Ketika kebudayaan modern dianggap sebagai pilihan yang niscaya, kata Faruk, Ajip malah getol berbicara tentang kebudayaan tradisional.


Redaktur PN Balai Pustaka (1955-1956) itu dikenal sangat taat asas (konsisten) mengembangkan kebudayaan daerah. Terbukti, Hadiah Sastra Rancage-penghargaan untuk karya sastra Sunda, Jawa, dan Bali-masih rutin dikeluarkan setiap tahun sejak pertama kali diluncurkan tahun 1988.


Ajip juga dikenal sebagai "juru bicara" yang fasih menyampaikan tentang Indonesia kepada dunia luar. Hal ini ia buktikan ketika bulan April 1981 ia dipercaya mengajar di Osaka Gaikokugo Daigaku (Osaka Gaidai), Osaka, Jepang, serta memberikan kuliah pada Kyoto Sangyo Daigaku di Kyoto (1982-1996), Tenri Daigaku di Nara (1982-1995), dan di Asahi Cultural Center.


Di Negeri Matahari Terbit itu, seminggu Ajip mengajar selama 18 jam dalam dua hari. Lima hari sisanya ia habiskan untuk membaca dan menulis. Ia mengaku, Jepang memberinya waktu menulis yang lebih banyak ketimbang Jakarta.


Maklum, ia tidak disibukkan mengurus kegiatan-kegiatan lain yang cukup menyita waktu, sebagai Ketua Dewan Kesenian Jakarta (1972-1981), Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi), Direktur Penerbit Dunia Pustaka Jaya, maupun Pemimpin Redaksi Majalah Kebudayaan Budaya Jaya (1968-1979). Hasilnya, lebih dari 50 judul buku dalam bahasa Indonesia dan Sunda ditulisnya selama di Jepang.


Satu hal yang mengesankan Ajip tentang masyarakat Jepang adalah kesadaran mereka akan pentingnya sastra dalam hidup mereka. Menurut Ajip, sastra tidak hanya menjadi bahan konsumsi para sastrawan atau budayawan, tetapi juga telah menjadi bahan bacaan para dokter atau arsitektur.


Kondisi itu tercipta akibat dukungan kebijakan pemerintah dan budaya yang ada. Ajip mengatakan, masyarakat Jepang sejak usia dini telah diperkenalkan dengan buku. "Anak kecil sejak umur dua hingga tiga tahun sudah diperkenalkan dengan buku."


Kondisi perbukuan di Jepang juga mendukung terciptanya suasana itu. Harga buku di sana ditetapkan sama di semua wilayah. " Harga majalah juga sama," katanya.
Pendidikan juga lebih tertata rapi, tinggal melanjutkan tradisi yang sudah berkembang. Tradisi itu mulai tertancap sejak reformasi Meiji. Reformasi yang ditandai dengan pengiriman orang-orang Jepang ke negara-negara maju untuk belajar banyak hal.


Selain itu, juga dilakukan penerjemahan besar-besaran berbagai macam ilmu, karya budaya, dan karya sastra ke dalam bahasa Jepang. "Jadi, orang Jepang, walaupun tidak bisa bahasa asing, misalnya, mereka mengetahui (dan) menguasai ilmu-ilmu di negara-negara asing," kata Ajip.
Semua itu dilakukan bangsa Jepang dengan penuh semangat dan keseriusan. Seorang profesor asal Amerika Serikat yang mengajar bahasa Inggris di Jepang bercerita kepada Ajip, ada seorang mahasiswanya belajar dengan menghafal kamus bahasa Inggris.


Orang Jepang memang dikenal sebagai bangsa yang amat bangga dengan bahasanya sendiri, tetapi hal itu tidak membuat mereka antibahasa asing. Minat orang Jepang terhadap studi-studi Indonesia juga cukup kuat. Jurusan Bahasa Indonesia (Indoneshia-go Gakuka) sudah ada di Tokyo Gaikokugo Daigaku sejak tahun 1949.


Selama mengajar di Jepang, Ajip tidak pernah kekurangan mahasiswa. Di Osaka Gaidai, ia mengajar rata-rata 30 mahasiswa setiap tahun, 40 mahasiswa di Kyoto Sangyo Daigaku, dan 60 mahasiswa di Tenri Daigaku.


"Saya mengajar bahasa Indonesia, sastra Indonesia, budaya Indonesia, dan Islam di Indonesia," kata Ajip. Beberapa muridnya kini sudah menjadi presiden direktur dan manajer pada perusahaan-perusahaan Jepang di Indonesia.


Namun, Ajip mencatat, tingginya gairah dan minat mereka terhadap bahasa asing bergantung pada kepentingan terhadap negara yang dipelajari itu. Ketika perekonomian Indonesia berkembang, perhatian orang Jepang terhadap bahasa Indonesia meningkat. "Sekarang Indonesia ambruk, perhatian juga berkurang. Ada beberapa universitas yang tadinya punya jurusan bahasa Indonesia, sekarang dan diganti dengan Cina," katanya Ajip.


Kendati telah menghabiskan sebagian hidupnya di negeri orang, Ajip tidak kehilangan pijakan pada kebudayaan daerah Indonesia. Hadiah Sastra Rancage yang lahir sejak tahun 1988 terus berjalan rutin setiap tahun.


"Saya mulai dengan serius, dan saya usahakan dengan serius. Ternyata banyak yang membantu. Orang mau membantu kalau (kegiatan yang dibantunya) dilaksanakan secara profesional," tuturnya mengenai ketaat-asasan Hadiah Sastra Rancage.


Namun, di tengah derasnya arus globalisasi, Ajip menyimpan sebersit kekhawatiran mengenai nasib kebudayaan-kebudayaan daerah. Bagi dia, globalisasi lebih banyak mengorbankan budaya-budaya daerah. Hal ini terjadi karena serbuan budaya global sulit diimbangi kebudayaan daerah.
Budaya global didukung oleh modal kuat serta teknologi tinggi, sedangkan kebudayaan daerah hanya bisa bertahan secara tradisional karena tidak ada yang menyediakan modal. Menurut Ajip, hal itu merupakan suatu pertarungan yang tidak adil.


"Saya kira kita tidak mengharapkan bahwa (pemeliharaan kebudayaan daerah) itu harus dilakukan pemerintah. Pengalaman saya membuktikan bahwa tidak bisa mengharapkan pemerintah," ujar budayawan yang sudah menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Suluh Pelajar (1953-1955) pada usia 15 tahun.


Oleh karena itu, banyak sastrawan dan budayawan Indonesia menyambut dengan sukacita kedatangan Ajip ke Tanah Air. Ia pun telah merancang dengan sejumlah agenda menghidupkan kembali kebudayaan daerah agar tidak hanya mampu bertahan, melainkan juga bisa berkembang. Wujud konkretnya, antara lain dengan mendirikan Pusat Studi Sunda bersama para sastrawan dan budayawan Sunda pada hari Sabtu ini. Pusat Studi Sunda ini, salah satu programnya, akan menerbitkan jurnal ilmiah Sundalana.


Selain itu, Ajip masih tetap akan berkutat dengan kegiatan membaca dan menulis. Untuk itu, suami Hj Patimah ini pun berencana tinggal di Magelang, Jawa Tengah. "Saya berlindung kepada Allah, mudah-mudahan dijauhkan dari rasa takabur. Mudah-mudahan saya selalu diberi kesadaran bahwa apa yang saya lakukan hanyalah sebiji sawi."


Paripurna
Sosok Ajip Rosidi di mata rekan-rekannya sesama pencinta sastra dan kebudayaan merupakan sosok yang lengkap. Selain dikenal sebagai sastrawan Sunda, Ajip juga dikenal sebagai sosok yang memperkaya sastra Indonesia dan memperkenalkan kebudayaan Sunda di dunia internasional.
Pandangan para sastrawan tentang Ajip Rosidi ini terangkum dalam dialog yang bertema Meninjau Sosok dan Pemikiran Ajip Rosidi, yang digelar Rabu (28/5/03), di Graha Sanusi Hardjadinata, Universitas Padjadjaran Bandung.


Dalam dialog yang berlangsung sekitar enam jam itu, tampil sebagai pembicara Abdullah Mustappa, Teddy AN Muhtadin, Ganjar Kurnia, Ignas Kleden, Faruk HT, serta Yus Rusyana. Selain itu, hadir pula beberapa sastrawan seperti Ramadhan KH, Sitor Situmorang, tokoh politik Deliar Noer serta puluhan mahasiswa dan pencinta sastra.


"Sunda menjadi menarik di tangan Pak Ajip karena bukan sesuatu yang baku," ujar pengamat sastra dari Universitas Gadjah Mada, Dr Faruk HT. Menurut dia, Ajip Rosidi mengalami polarisasi politik dan kultural sepanjang hidupnya. Faruk menganggap polarisasi politik dan kultural tersebut membuat karya-karya Ajip Rosidi terasa kaya makna, kritis, serta tidak terjebak hanya pada satu budaya dan ideologi.
Dia mencontohkan, ketika Ajip dielu-elukan sebagai orang yang berjasa dan terhormat dalam kehidupan sastra Sunda, Ajip justru menengok sastra Jawa dan sastra daerah lain. "Sulit mencari orang seperti Ajip dalam dunia sastra Indonesia," kata Faruk.


Sementara itu, menurut Direktur Pusat Pengkajian Indonesia Timur (PPIT) atau Center for East Indonesian Affairs (CEIA) Dr Ignas Kleden, Ajip merupakan tokoh penting dalam sastra Indonesia. Ajip, kata Kleden, tidak hanya memainkan peranan luas dalam kesusastraan saja, namun juga meninggalkan banyak jejak langkah dalam perkembangan kebudayaan daerah dan kebudayaan Indonesia.


"Sumbangan sastra dan kebudayaan Sunda kepada sastra dan kebudayaan Indonesia diwujudkan melalui penulisan kembali dalam bahasa Indonesia cerita-cerita sastra daerah," kata Kleden.


Sedangkan peneliti dari Pusat Dinamika Pembangunan Unpad, Dr Ganjar Kurnia, memandang sosok Ajip sebagai orang Sunda modern. Hal itu dapat dilihat dari perhatiannya terhadap sastra Sunda. Ganjar menilai Ajip memiliki perhatian sepenuhnya untuk melestarikan budaya Sunda, namun dia juga tidak melepaskan keindonesiaannya.


"Ajip Rosidi bukan orang yang etnocentris, provinsialis, atau sukuisme dalam arti sempit," kata Ganjar. Dia menambahkan, Ajip juga telah membawa budaya bangsa sampai kepada tingkat internasional. Selain itu, Ajip juga dinilai sebagai orang yang memiliki pengetahuan yang luas mengenai masalah kesundaan sehingga dapat dianggap sebagai "arsip hidup" paling lengkap.


"Dapatkah kita memiliki Ajip-Ajip yang lain di masa mendatang?" kata Faruk, di akhir ceramahnya.
Perkataan Faruk tersebut ternyata ditanggapi dengan kekhawatiran oleh Ajip Rosidi. Menurut Ajip, dia khawatir masyarakat akan mengultuskan dirinya. Padahal, kata Ajip, dia sangat tidak suka dipuji, apalagi dikultuskan. "Saya lebih suka dikritik daripada dipuji," kata Ajip.

Sastra "Rancage" dan Sastra Daerah
Hadiah Sastra "Rancage" sudah berlangsung sejak 1989. Semula Hadiah Sastra tahunan ini khusus untuk pengarang dalam sastra Sunda, namun mulai tahun 1994 diberikan juga kepada pengarang sastra Jawa. Empat tahun kemudian, 1998, Hadiah Sastra "Rancage" juga diperuntukkan bagi pengarang sastra Bali. Sejak itu, setiap tahun Yayasan Kebudayaan "Rancage" yang diketuai Ajip Rosidi selaku pemberi Hadiah Sastra "Rancage" menyediakan dua hadiah untuk setiap daerah tersebut, yakni satu untuk "karya sastra" dan satu lagi untuk kategori mereka yang ber-"jasa".


Seluruh suku bangsa di Indonesia saat ini merasa bahwa hidup matinya sastra daerah menjadi tanggung jawab masing-masing daerah. Padahal sesungguhnya perkembangan sastra daerah menjadi tanggung jawab nasional yang harus dihadapi secara nasional pula.


"Pengembangan sastra dan bahasa daerah seakan-akan diserahkan kepada suku bangsa pemiliknya begitu saja, pemerintah seperti tak mau tahu," ujar sastrawan Ajip Rosidi, di Denpasar. Ketua Yayasan Kebudayaan Rancage itu berada di Bali dalam rangka menyerahkan Hadiah Sastra Rancage 1999 kepada para sastrawan Sunda, Jawa, dan Bali.


Ajip Rosidi merasa prihatin atas keberadaan sastra dan bahasa daerah di Indonesia sekarang ini. Pemerintah nyaris tak memberi perhatian yang mamadai terhadap kehidupan sastra-sastra daerah tersebut. Padahal menurut konstitusi, hal itu termasuk tanggung jawab pemerintah.


"Masalah yang dihadapi daerah di mana-mana sama, masalah pendidikan dan penerbitan buku-buku," ujar Ajip Rosidi. Pada tahun 1998 lalu, terbit enam judul buku berbahasa Sunda, dua bahasa Jawa, dan tiga bahasa Bali.


*** Ensiklopedi Tokoh Indonesia, dari berbagai sumber terutama Kompas 31 dan 29 Mei 2003

Farewell WS Rendra, Poet, Playwright and Father of Indonesian Theater

0 komentar

Obituary: Farewell WS Rendra, Poet, Playwright and Father of Indonesian Theater

Bramantyo Prijosusilo | August 07, 2009


Poet, writer, dramatist, cultural activist and theater director, WS Rendra, died on Thursday night, approaching the age of 74, after battling heart and kidney problems for around a month. Indonesia has lost one of its most talented artists.

Rendra rose to fame as a poet in the 1950’s and remained the most influential poet in the country until his death. He is also credited as the man who brought modern Indonesian theater to its maturity through his experimental works with Bengkel Teater (Theater Workshop), which he founded in 1968. Before Rendra and his Bengkel Teater, modern Indonesian theater was simply a copy of that in the West, but Rendra brought traditional expressions into a modern context.

Born to a Roman Catholic family and baptized as Willibrordus Surendra Broto, he changed his name to Wahyu Sulaiman Rendra when he embraced Islam in 1970 on his second marriage to Sitoresmi Prabunigrat from the Yogyakarta palace. Rendra leaves behind eleven children from three marriages.

During the repressive New Order era, Rendra was one of the few creative people in this country who had the courage to express dissent. When the novelist Pramoedya Ananta Toer was returned from Indonesia’s gulag — the prison island of Buru — he said Rendra was “one man who has the courage to resist the power of Suharto, under his own name. If you cannot respect that, you should learn to.”

Rendra’s plays and poetry during the Suharto era were very critical of the ideology of development and his performances as a poet or with Bengkel Teater were often banned.

“I learned meditation and disciplines of the traditional Javanese poet from my mother who was a palace dancer. The idea of the Javanese poet is to be a guardian of the spirit of the nation,” Rendra once said. Because of his poetry readings and his sexy performances on the stage, he was dubbed “the Peacock” by the press.

In 1979, during a poetry reading critical of development in the Ismail Marzuki art center in Jakarta, Suharto’s military intelligence agents threw ammonia bombs on to the stage and arrested him. He was imprisoned in the notorious Guntur military prison for nine months, spending time in solitary confinement in a cell with a ceiling too low to stand up and only mosquitoes for company. When he was released, without ever having being charged, his body was covered with sores from mosquito bites.

His experience in Guntur prison inspired him to write the short poem: “Thunder beats and hammers/ Life is forged on stone/ Harsh thunder is my teacher / The sun always shines” and also the ballad “Paman Doblang” (“Uncle Doblang”), which was later set to music by the rock band Kantata Takwa. The ballad tells the story of Uncle Doblang, who is sent to a dark cell for voicing his conscience, and ends with the lines: “Conscience is the sun/ patience is the earth/ courage forms horizons/ and struggle is the implementation of words.”

After he was released from prison he was banned from performing poetry or drama until 1986, when he wrote, directed and starred in his eight hour long play “Panembahan Reso,” which discussed the issue of the succession of power that was a taboo at that time. Before the performance at the Senayan sports center, he told his cast of 40-something actors: “Pack your toiletries, because there is a chance that we might get arrested.” The play took six months to prepare and was performed for two nights. “Modern Indonesian theater has no infrastructure. We must create it ourselves,” he used to tell his performers.

Rendra studied at the American Academy of Dramatic Arts, the same school as Marlon Brando, but when he graduated, he chose to return to Indonesia and in 1968 founded Bengkel Teater in Yogyakarta. The group quickly fascinated audiences with works that were artistically experimental and politically critical.

In 1969 he created a series of dramas without any dialog where actors employed their bodies and simple sounds such as bip bop, zzzzz and rambate rate rata. The journalist poet Goenawan Mohamad dubbed these experimental performances as “mini-word theatre.” During the 1970’s, his plays such as “Mastodon and the Condors” and “The Struggle of the Naga Tribe” and “The Regional Secretary” were often banned because they openly criticized Suharto’s development programs that often alienated indigenous people and tended to side with multinational corporations.

Rendra was also a great admirer of Shakespeare and Bertolt Brecht, and he translated and performed Hamlet and Macbeth. A keen student of the traditional Indonesian martial art pencak silat, Rendra always looked a lot younger than his age and he played Hamlet when he was well into his sixties.

He translated and performed Brecht’s “Caucasian Chalk Circle,” as well as Sophocles’ Oedipus trilogy. In the process of embracing Islam, he translated and directed the traditional Islamic poems telling of the life of the prophet Muhammad, in his play comprising drums and poetry, “Qasidah Barjanzi.” His works have been translated into many languages and performed all over the world.

Rendra, who was born in Solo on Nov. 7, 1935, will be missed by creative communities all over Indonesia. He was a dedicated mentor who was always willing to help younger artists. He will be remembered for many things, especially by members of his Bengkel Teater. For them, he was a dear friend, a teacher and a father figure.

Bramantyo Prijosusilo is an artist, poet and organic farmer in Ngawi, East Java. He was a student of WS Rendra at Bengkel Teater.

www.thejakartaglobe.com

Renungan Indah W.S. Rendra

0 komentar

Renungan Indah W.S. Rendra

Jum'at, 07 Agustus 2009 | 07:53 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta -

Seringkali aku berkata,
Ketika semua orang memuji milikku
Bahwa sesungguhnya ini
hanyalah titipan

Bahwa mobilku hanyalah titipan-Nya
Bahwa rumahku hanyalah titipan-Nya
Bahwa hartaku hanyalah titipan-Nya
Bahwa putraku hanyalah titipan-Nya
Tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya: mengapa Dia menitipkan padaku???

Untuk apa Dia menitipkan ini padaku ???
Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik-Nya itu ???...

Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku?
Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya ?

Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah
kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka,
kusebut dengan panggilan apa saja untuk melukiskan bahwa itu adalah derita.

Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku, aku ingin lebih banyak harta, ingin lebih banyak mobil, lebih banyak rumah, lebih banyak popularitas, dan kutolak sakit, kutolak kemiskinan,

Seolah semua “derita” adalah hukuman bagiku.
Seolah keadilan dan kasih Nya harus berjalan seperti matematika: aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku, dan nikmat dunia kerap menghampiriku.

Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan Kekasih. Kuminta Dia membalas “perlakuan baikku”, dan menolak keputusanNya yang tak sesuai keinginanku,

Gusti, padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah… “ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja”


Renungan Indah
WS Rendra



Willibrordus Surendra Btoto, lebih akrab dipanggil Rendra atau WS Rendra, meninggal tadi malam. Semoga amal baiknya diterima Tuhan Yang Maha Esa. Banyak handai tolan merasa kehilangan budayawan dan penyair kondang itu.

Rendra kecil dilahirkan dari bibit seniman, kedua orangtuanya menekuni tari dan drama. Ketika memeluk Islam, nama panjangnya berganti Wahyu Sulaiman Rendra. Julukannya tetap WS Rendra. 'Si Burung Merak' itu pulang ke pangkuan Pemilik dirinya.

Lahir: Solo, Jawa Tengah, 9 November 1935
Ayah : R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo (seniman dan guru di Solo)
Ibu: Raden Ayu Catharina Ismadillah (penari keraton Surakarta)

Keluarga:
Menikah tiga kali:
-Istri pertama Sunarti Suwandi (cerai 1981) punya lima orang anak: Teddy Satya Nugraha, Andreas Wahyu Wahyana, Daniel Seta, Samuel Musa, dan Klara Sinta.
-Istri kedua Bendoro Ayu Sitoresmi Prabuningrat (cerai 1979) punya empat anak: Yonas Salya, Sarah Drupadi, Naomi Srikandi, dan Rachel Saraswati
-Istri ketiga Ken Zuraida punya dua orang anak: Isaias Sadewa dan Maryam Supraba.

Keyakinan:
- Dari kecil hingga usia 35 tahun memeluk Katolik
- Mulai 12 Agustus 1970 masuk Islam, saat menikahi Sitoresmi.

Pendidikan:
-SR Santo Yosef, Solo (1948)
-SMP Santo Yosef, Solo (1951)
-SMA Santo Yosef, Solo (1954)
- Fakultas Santra Universitas Gadjah Mada
- Sekolah drama dan tari di Amerika
- Mendapat biasiswa American Academy of Dramatical Art

Karya dan Penghargaan:

- Kaki Palsu, drama pertamanya yang dipentaskan sewaktu SMP.
- Orang-Orang di Tikungan Jalan, drama pertamanya mendapat penghargaan dari Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Yogyakarta.
- Hadiah Sastra Nasional (1956)
- Anugerah Seni dari Pemerintah Indonesia (1970)
- Anugerah Akademi Jakarta (1975)
- Penghargaan Yayasan Buku Utama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1976)
- Penghargaan Adam Malik (1989)
- The S.E.A. Write Award (1996)
- Penghargaan Achmad Bakri (2006)
- Karya puisi dan syairnya diterjemahkan dalam berbagai bahasa seperti Inggris, Jerman, Belanda, dan Jepang.
- Karya itu seperti Blues untuk Bonnie, Pamphleten van een Dichter, State of Emergency, Sajak Seorang Tua tentang Bandung Lautan Api, dan Mencari Bapak.
- Pernah ditahan gara-gara mementaskan dramanya yang berjudul SEKDA pada 1977.
- Drama Mastodon dan Burung Kondor dilarang dipentaskan di Taman Ismail Marzuki Jakarta.

ELIK / dari berbagai sumber

 

kumpulan karya Puisi | Copyright 2010 - 2016 Kumpulan Karya Puisi |